A. Kedudukan Pengadilan Pajak
Sebagai Badan Peradilan Yang Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 (2) UUD 1945 (Perubahan ke-3 UUD 1945 tgl 9 Nop 2001) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)
Pasal 2 UU 14/2002 Tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap SengketaPajak ….” dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah denganUndang-undang kan oleh Nomor 35 Tahun 1999 sebagai Pengadilan Khusus Di Lingkungan Peradilan TUN.
Pasal 15 Ayat (1) UU 4/2004 Kekuasaan Kehakiman Dimaksud dengan “pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain………., dan PengadilanPajak di Lingkungan PeradilanTata Usaha Negara.
Pasal 9A UU 51/2009 PERATUN Di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. (Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkunganperadilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak)
Pasal 27 Ayat (2) UU 28/2007KUP Putusan Pengadilan Pajak merupakan Putusan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
B. Pengadilan Pajak dan UU Administrasi Pemerintahan
Dalam hal kompetensi Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak, apakah hakim menguji berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga dalam hal apakah hakim menguji berdasarkan AUPB. Sebelum menguji dalam hal apa, para hakim harus mengetahui kewenangannya, apakah kewenangannya terikat atau kewenangannya bebas. Kewenangan terikat itu adalah kewenangan yang sudah dicantumkan di dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewenangan bebas itu tidak dicantumkan, tidak jelas, dan sifatnya diskresi atau norma kabur. Norma kabur adalah ketika memberikan kebebasan kepada pejabat untuk menentukan. Apabila ditemukan adanya norma kabur, maka menjadi alat uji AUPB.
Contoh yang biasanya ada di dalam undang-undang yaitu apabila terdapat kata “dapat”, misalnya “Menteri Keuangan dapat melakukan”. Kata dapat pada kalimat ini merupakan norma kabur sehingga hakim harus menilai. Beliau juga mengingatkan bahwa Hakim TUN, termasuk Hakim Pajak, dalam memutus bersifat ex tunc, jadi dinilai berdasarkan peraturan yang saat itu berlaku, bukan saat sekarang.
Asas-asas yang ada di dalam prinsip-prinsip Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah:
- Contrarius actus, suatu pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan berwenang pula untuk mencabutnya.
- Geenbevoegdheid zonder varaantwoordelijkheid, tiada ada satu kewenangan tanpa adanya tanggung jawab.
- rechtmatigheid van bestuur yaitu pemerintahan berdasarkan hukum.
- Détournement de pouvoir yaitu asas bahwa seorang pejabat tidak boleh menyalahgunakan wewenang.
- Presumptio justitiae causa, berarti suatu keputusan itu tetap dianggap sah sebelum adanya pembatalan, baik oleh pengadilan maupun oleh pejabat itu sendiri.
- dubio pro actione, berarti tidak boleh adanya keraguan.
- iura officialibus consilia, menyangkut mengenai kewajiban atau hak dari atasan pejabat.
- Accepti (fictum positiva), berarti penerimaan mengenai fiktif positif.
- Praeiudicium yaitu mengenai konflik kepentingan, apabila ada pejabat yang memiliki konflik kepentingan maka harus mengundurkan diri.
- audi et alteram partum, adalah asas yang harus mendengarkan kedua belah pihak sebelum mengeluarkan suatu keputusan.
C. Sikap Hakim Pengadilan Pajak
- Lex Posteoriori Derogat Legi Prior, Konflik antara Undang-Undang yang lama dengan Undang-Undang yang baru tidak mencabut Undang[1]Undang yang lama, maka yang berlaku adalah Undang-Undang yang baru.
- Lex Superior Derogat Legi Inferior, Konflik antara Undang-Undang yang berbeda tingkatannya, maka yang berlaku adalah Undang[1]Undang yang tingkatannya lebih tinggi.
- Asas Resjudicata Pro Veritate Habetur, Konflik antara Undang-Undang dengan Putusan Pengadilan, yang berlaku adalah Putusan Pengadilan.
- Kebiasaan, Konflik antara Undang-Undang dengan hukum kebiasaan, maka hukum kebiasaan yang didahulukan.
- Keadilan, Apabila Hakim berhadapan dengan konflik antara keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, maka unsur keadilanlah yang harus didahulukan.
Bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus dapat dipertangungjawabkan kepada Tuhan bermakna bahwa hakim tidak dapat disalahkan atas apa yang telah diputuskannya itu. Putusan pengadilan harus dianggap benar.
Pada peradilan umum, dalam hal putusan pengadilan tingkat banding ternyata berbeda dari putusan pengadilan tingkat pertama, tidak berarti hakim pengadilan tingkat pertama dianggap telah melakukan kesalahan. Inilah yang dimaksud dengan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur, apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Semua pihak harus menerima putusan pengadilan, namun demikian harus dipahami bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak tanpa pertanggungjawaban. Kemandirian peradilan bukanlah kebebasan absolut atau tanpa batas, tetapi kemandirian yang didasarkan oleh norma yuridis, kode etik profesi, dan norma moral.